Makna Munggahan Yang Sebenarnya

Makna Munggahan Yang Sebenarnya,- Munggahan tentu bukan hal yang asing bagi setiap umat muslim khususnya di daerah sunda (Jawa Barat). Ini merupakan tradisi umat muslim sunda ketika menjelang bulan suci ramadhan. Hampir setiap daerah, setiap desa, setiap kota di Jawa Barat tidak melewatkan moment ini. Bahkan setiap daerah memiliki keunikan dan keanekaragaman masing-masing dalam tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Makna Munggahan

Munggahan memang sudah tak asing di telinga muslim sunda. Namun tak sedikit yang menganggap bahwa munggahan itu hanya sekedar “botram” atau makan bareng. Padahal tidak demikian, disini kami akan menjelaskan tentang makna munggahan, tradisi mungguhan, serta arti munggahan menurut syara'.

Mari kita simak “makna munggahan yang sebenarnya” berikut ini !

Secara etimologi munggah berasal dari bahasa Sunda, yaitu "unggah" yang artinya naik atau memasuki tempat lebih tinggi. Menurut kamus Basa Sunda, kata unggah berarti kecap pagawean nincak ti handap ka nu leuwih luhur, naek ka tempat nu leuwih luhur (Danadibrata, 2006:727), artinya kata kerja beranjak dari bawah ke (tempat/derajat) yang lebih tinggi, naik ke tempat yang lebih tinggi. Di dalam Kamus Umum Bahasa Sunda (1992), munggah berarti hari pertama puasa pada tanggal satu bulan Ramadhan.

Dari sumber lain menurut Abdullah Alawi Munggahan berasal dari kata unggah yang berarti naik undakan untuk masuk, misalnya ke rumah atau ke masjid (dulu rumah dan masjid berbentuk panggung). Dalam lidah orang Sunda kata unggah sering diawali huruf ‘m’ hingga akrab dilafalkan munggah. Kata ini sering dikaitkan dengan proses ibadah haji (munggah haji). Dalam ibadah ini terjadi proses naik (bergerak) secara lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah berarti naik pesawat terbang atau kapal laut. Sedangkan secara batiniyah adalah berubah dari sifat yang buruk menjadi lebih baik (mabrur).

Baca Juga : Inilah Persiapan Umat Islam Dalam Menghadapi Bulan Suci Ramadhan

Sedangkan “munggah” dalam menghadapi bulan puasa, yaitu unggah kana bulan nu punjul darajatna, artinya naik ke bulan yang luhur derajatnya. Dari kata munggah tersebut tersirat perubahan, baik secara lahiriyah dan (seharusnya) batiniyah. Secara lahiriyah misalnya, kita harus menahan diri dari rasa haus dan lapar. Jadwal makan berubah dari biasanya. Tapi seharusnya berubah dalam pemikiran, ibadah, sikap hidup dst. yang tentunya ke arah yang lebih baik. Seandainya semua itu terlaksana, itulah orang yang benar-benar menang, (suci, fitri) di hari lebaran.

Jika kita perhatikan, dari tahun ke tahun ternyata munggahan tak lebih dari acara makan bersama yang sering diselenggarakan mulai dari tingkat keluarga, RT, masjid, jamaah pengajian, bahkan kantor-kantor pemerintahan sejak daerah sampai pusat.

Dalam istilah orang tua kita dulu, munggahan disebut juga ngalelemu. Suatu usaha menuju pembelajaran puasa yang sebenarnya dengan memanjakan sejenak perut kita sehingga amaliyah puasa kita dapat dilaksanakan tepi ka ngarasa yen puasa teh lain kapaksa tapi geus jadi tugas kawajiban pangeran.

Memang, salah satu persiapan yang harus kita perhatikan adalah persiapan fisik sehingga seorang muslim akan mampu berbuat maksimal dalam puasanya. Dalam konteks inilah munggahan dalam arti munggah jasadiyah.

Makna Munggahan Yang Sebenarnya,- Selain persiapan fisik, kitapun harus memaksimalkan persiapan ruhiyah, sehingga masuk dalam bulan Ramadhan segalanya sudah siap dan tidak akan mengalami kekagetan ibadah yang pada akhirnya akan berujung kepada kebosanan dan formalitas belaka. Inilah makna munggah yang kedua dalam konteks munggah ruhiyah.

Kalau kita cermati pengamal munggahan ini hanya beberapa gelintir saja. Padahal munggahan seperti ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Diantaranya dengan memperbanyak ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, saum sunnah, shalat sunnah, shalat berjamaah dll. Bahkan Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:” Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim).

Seiring dengan perkembangan zaman Munggahan hanya diartikan sebagai makan-makan atau kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman dalam menyambut bulan ramadhan. Meski tradisi munggahan mulai memudar, walau belum hilang secara keseluruhan, tapi dengan acara makan bersama tersebut diharapkan bisa mempererat tali silaturahmi.

Banyak sekali makna penting yang harus dijalankan selama munggahan ini, tidak hanya jasadiyah dan ruhiyah saja tetapi juga fikriyah, yang mempunyai makna meningkatkan ilmu khususnya pengetahuan yang terkait dengan ibadah Ramadhan. Banyak orang yang berpuasa tidak menghasilan kecuali lapar dan dahaga. Hal ini dilakukan karena puasanya tidak dilandasi dengan ilmu yang cukup.

Tradisi Munggahan

 
Biasanya munggahan dilaksanakan satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan. Masyarakat melaksanakan momentum ini dengan berbagai macam kegiatan seperti acara makan bersama-sama (botram) dengan keluarga, sanak saudara, kerabat dekat, dan tetangga di pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Adapun bentuk kegiatan lain dari tradisi munggahan yaitu ada yang mengunjungi tempat wisata dengan keluarga ataupun acara resmi keagamaan, dan ada yang berziarah ke makam wali, kuburan orang tua, syekh dan ulama penyebar Islam di suatu daerah.

Saling memaafkan di antara sesama kaum Muslim terutama dengan kerabat, bermaksud untuk membersihkan jiwa dari segala dosa sesama manusia. Hal itu tercermin pula dalam Alquran sebagai suatu perbuatan untuk menggapai kebahagian, yaitu yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu” (Quran surah Asyams).

Artiket Terkait : Hindari Penyakit Yang Sering Muncul Di Bulan Ramadhan

Di samping itu, di tatar Sunda dikenal istilah keramas. Keramas artinya membersihkan diri (mandi) dan saling memafkan. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Quran surah Al-baqarah 222).

Orang Sunda yang merantau di kota biasanya pulang kampung untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan bersama keluarga di desa. Mereka percaya bahwa munggah bersama keluarga atau orang tua dapat menjaga keharmonisan keluarga.

Intinya sama, yakni untuk mempersiapkan diri memasuki sasih siyam. Warga yang pergi ziarah, umpamanya, bermaksud menyucikan diri dan mengingatkan diri pada kematian. Di suatu kampung ada yang pergi ke sawah untuk botram (makan bersama-sama) bersama warga sekampung. Tapi, kebiasaan ini sekarang agak sedikit menghilang. Lagi-lagi globalisasi yang dipersalahkan. Kemudian, bagi orang Sunda yang masih kental memegang tradisi dari Islam Jawa, akan melakukan prosesi nyadran atau menggelar malam nifsyu syaban. Ya, tujuannya sama yakni untuk bersiap diri menghadapi rongkahna (dahsyatnya) gangguan di bulan Ramadhan.

Dalam tradisi “munggah”, biasanya seluruh anggota keluarga yang berada di luar kota akan berkumpul di tempat orang tuanya yang umumnya berada di pedesaan. Ini dilakukan untuk menjadi keharmonisan hubungan keluarga, menikmati saat santap sahur bersama yang sangat jarang dilakukan. Namun kini akibat pengaruh migrasi, tradisi “munggah” tidak lagi dianggap perlu dilakukan di kampung, di kota pun bisa. Misalnya dengan mengunjungi tempat hiburan atau tempat-tempat yang memungkinkan tetap mempertahankan tradisi ini. Kegiatan “munggah” umumnya dilakukan oleh individu, keluarga, dan kelompok masyarakat. Yang biasanya menonjol biasanya berupa kegiatan bersuci atau mandi besar, kemudian tabuhan-tabuhan bedug setelah salat subuh hingga menjelang malam pertama Ramadhan, dan acara membersihkan makam, serta makan bersama.

Dari sekian kegiatan munggahan, yang menonjol dari tradisi ini adalah, acara makan bersama yang selalu menjadi pusat perhatian. Tidak jarang pula, setiap kantor-kantor mengadakan acara Munggahan ini bersama para karyawannya.

Acara makan ini menjadi sangat menarik, manakala acara ini di selenggarakan di tempat-tempat tertentu yang menjadi favoritnya. Seperti di sekitar kebun pinggir sawah, sambil menikmati makanan dan pemandangan serta alam yang indah dan sejuk.

Menu yang biasa disajikan dalam acara munggahan ini adalah bakar ikan, dengan pelengkap lalaban, sambal terasi, atau sambal dadak serta nasi liwet yang panas. Lebih enak lagi kalau nasi liwetnya disajikan di atas daun pisang. Dengan begitu, rasa kebersamaannya pun lebih terasa. Itu merupakan sajian yang lezat dan menjadi ciri khas ketika berada di kampung.

Makan bersama pada waktu munggah rasanya berbeda dengan hari-hari biasa, lebih spesial. Tentunya masyarakat juga menyiapkan menu yang lebih mewah dibanding hari-hari biasa untuk makan sahur pertama. Orang yang kurang mampu banyak juga yang memaksakan untuk membeli lauk yang sedikit lebih mewah karena mereka menganggap setahun sekali tidak apa-apa makan mewah. Bahkan ada yang rela untuk berhutang kepada tetangganya. Bisa terlihat bagaimana antusias masyarakat pada tradisi munggahan ini. Karena itulah tradisi ini perlu dipelihara, jangan sampai pudar di makan zaman.

Munggahan Menurut Hukum Syara’

Secara syar’i atau hukum syara’ dalam Islam memang tidak ada tradisi Munggahan bahkan Rasulullah Shallallahu‘alaihi Wa Sallam tidak melakukan hal itu. Mungkin hikmah yang bisa kita ambil adalah saling memaafkan membersihkan diri menyambut bulan penuh Rahmat bulan Ramadhan .

Meskipun tradisi Munggahan tidak dicontohkan oleh Rasululloh saw, tapi keberadaan tradisi ini sangat diakui oleh masyarakat. Khususnya masyarakat di tatar sunda. Tradisi ini sudah menjadi kebiasaan yang membudaya dikalangan masyarakat dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Hal ini tidak ada masalah selagi kegiatan munggahan diisi dengan hal-hal yang positif dan tidak bertentangan dengan agama.

Ini hanya sebuah tradisi, terlepas apakah sesuai dengan aturan agama atau tidak. Tapi yang jelas Munggahan ini sudah ada sejak zaman dulu, dan tidak tahu siapa yang memulainya. Dan paling penting kita harus memelihara tradisi ini agar tetap berkembang dari generasi ke generasi.


Artikel Lainnya: Nisfu Sya’ban, Amalan Nisfu Sya’ban dan Keistimewaan Malam Sya’ban

0 Response to "Makna Munggahan Yang Sebenarnya"